Mencegah Banjir, Mulailah dengan yang Sederhana



Mencegah Banjir, Mulailah dengan yang Sederhana

Mencegah Banjir, Mulailah dengan yang Sederhana

Banjir yang merendam Jakarta dan berbagai kota di Indonesia sekitar tanggal 18-22 Januari 2014 telah menjadi bencana nasional.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan banjir bandang dan longsor yang terjadi di Sulawesi Utara telah menelan korban tewas sebanyak 19 orang.
Bencana terjadi pada delapan kabupaten /kota yakni Kota Manado, Kota Tomohon, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Sitaro. Sedikitnya 40 ribu jiwa mengungsi akibat banjir bandang yang melanda Manado, Sulawesi Utara.
Puluhan ribu rumah yang tersebar di 173 desa sekitar Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terendam banjir menyusul terus tingginya curah hujan di daerah tersebut disertai meluapnya sejumlah sungai besar di wilayah Karawang. Banjir merendam 28 kecamatan dan sejumlah titik ruas jalan raya, 52 mesjid, 11 sekolah, 35.092 rumah serta 8.282 hektare areal persawahan. Ketinggian air paling tinggi mencapai dua meter. Sedangkan jumlah warga terdampak mencapai 97.089 orang..
Di Kabupaten Bekasi ada 11 kecamatan yang terendam, di antaranya Muaragembong, Cabang Bungin, Tambun Utara, Sukawangi, dan Cikarang Timur. Banjir di Bekasi hampir bersamaan dengan banjir Jakarta sudah berlangsung lebih sepekan. Kota Bekasi juga terkena banjir. Total ada sembilan kecamatan yang terendam.
Banjir di Indramayu-Cirebon-Subang yang terjadi selama empat hari Banjir juga memutus akses jalur pantura yang menghubungkan kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Air merendam Jalur Pantura yang berimbas kemacetan panjang kendaraan hingga puluhan kilometer. Air yang merendam berasal dari luapan Sungai Cipunagara dan Sungai Cigadung. Meluapnya sungai karena tingginya curah hujan sejak beberapa hari terakhir.  Kabupaten Indramayu. Ada lima lokasi yang hingga kini masih terendam. Ketinggian air rata-rata antara 50 dan 80 sentimeter.
Banjir di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang terjadi sejak Sabtu 18 Januari 2014, terus meluas. Di Kabupaten Subang, saat ini tercatat ada 55 desa dari 14 kecamatan yang terkena banjir. Ketinggian air ada di kisaran 70 hingga 300 sentimeter dengan lokasi terparah berada di Pamanukan.

Di Indramayu, banjir menggenangi 17 kecamatan. Ribuan rumah terendam dengan ketinggian air berkisar 50 centimeter hingga 3 meter. Ribuan jiwa pun terpaksa mengungsi ke sekolah-sekolah, sehingga kegiatan belajar mengajar pun terhenti.
Ruas jalur pantura Kudus-Demak-Pati juga direndam air di Juwana. Jalur alternatif melalui jalur Kudus -Purwodadi juga ikut terendam air. Banjir terparah terjadi di Kecamatan Tahunan. Dari 15 desa yang ada di kecamatan ini, hanya Desa Brantak Sekarjati yang tidak terendam air banjir. Sedang lainnya tergenang dengan kedalaman bervariasi antara 30 cm-2,5 meter. Banjir di Kudus membuat sedikitnya 4.000 jiwa diungsikan ke 20 titik pengungsian.
Berdasar data dari BPBD Jepara, jumlah warga korban banjir yang tersebar di sembilan kecamatan sebanyak 71.185 jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 15.000-20.000 orang sudah mengungsi, baik di lokasi pengungsian yang ditetapkan pemerintah, tanggul-tanggul sungai maupun di rumah kerabat yang tidak kebanjiran.  Jalur pantura di Jepara tepatnya di Desa Welahan, Kecamatan Welahan, tergenang banjir setinggi 1 meter lebih. Banjir di Kabupaten Jepara merendam puluhan desa di sembilan kecamatan.

Sedangkan Banjir di Jakarta merendam 33 kecamatan dan 99 kelurahan. Dengan 119.397 jiwa yang terdampak, terdapat 89.334 yang mengungsi di 338 lokasi. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan ada tiga wilayah yang selalu menjadi langganan banjir setiap tahunnya. Bahkan, banjir di tiga wilayah tersebut merupakan wilayah yang paling parah terkena banjir. Tiga wilayah tersebut adalah Kampung Pulo Jakarta Timur, Kalibata Jakarta Selatan dan Pasar Rebo Jakarta Timur. Ketiga wilayah tersebut dilingkari aliran Sungai Ciliwung, sehingga selalu menjadi langganan banjir.

Sebenarnya penanganan banjir awal tahun 2014 lebih baik dari 2013. Taun 2013 ada 62 titik banjir sedangkan tahun 2014 berkurang menjadi 35 titik. Luas wilayah di Jakarta yang terkena banjir pada 2013 mencapai 2.143 hektare atau 30% dari luas total wilayah. Pada tahun 2014, wilayah yang terkena berkurang menjadi 1.425 hektare atau 20% dari total wilayah. Jumlah RT/RW yang terendam tahun 2013 ada 1.177 RT dan 508 RW yang kebanjiran, pada tahun 2014 berkurang menjadi 696 RT dan 385 RW. Pada tahun 2013 ada 83.930 warga yang mengungsi di 307 titik pengungsian, pada tahun 2014 jumlah pengungsi menurun menjadi 44.784 orang di 197 titik. Jumlah korban meninggal juga menurun dari tahun 2013, 41 orang meninggal, tahun 2014 ada 7 orang.

banjir web site2
Namun walaupun penanganan banjir 2014 lebih baik, perlu diingat siklus banjir di Jakarta juga semakin lama semakin kecil, dari semula R50 (setiap 50 tahun terjadi banjir besar di Jakarta di zaman Belanda), menjadi R20, R10, dan R5. Dan saat ini seperti kekhawatiran banyak pihak, siklus banjir menjadi setiap tahun karena belum dilakukan penanganan terpadu (R1).

Untuk mengatasi banjir, pemerintah DKI Jakarta dan Jawa Barat minus provinsi Banten telah melakukan koordinasi untuk menangani banjir. Beberapa hasil pertemuan tersebut adalah rencana pembangunan sodetan Ciliwung-Cisadane pernah diusulkan pada tahun 2000 diaktifkan kembali, rencana pembuatan Waduk Ciawi dan Sukamahi yang rencananya dibangun pada 2015, sodetan Ciliwung-Kanal Banjir Timur yang selesai pada 2016, revitalisasi situ-situ yang rampung 2015, normalisasi Sungai Ciliwung selesai 2016, pembangunan sumur resapan dengan target 2,2 juta sumur di Jakarta, pembuatan dan dan konservasi tanah lain, dan yang terakhir normalisasi Sungai Cisadane.

Upaya membuat sodetan untuk mengalihkan aliran sungai menjadi opsi untuk menanggulangi masalah banjir di Jakarta. Namun, pembuatan sodetan justru mengurangi ketersediaan air tawar karena mempercepat proses pengalirannya ke laut. Di samping itu, membuat sodetan dinilai hanya merupakan solusi jangka pendek. Air tawar dari sungai yang mengalir di Jakarta seharusnya dapat ditahan selama mungkin di darat. Hal itu perlu karena banyak fungsi dan nilai ekonomis dari keberadaan air yang dapat dipertahankan. Sodetan tidak menyentuh akar permasalahan banjir. Banjir bukan hanya datang dari satu sungai, melainkan dari 13 sungai besar di Jakarta, yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat dan Kali Cakung.

Tiga belas sungai utama mengalami penyempitan sehingga kemampuannya mengalirkan air minim. Kali Ciliwung, mulai Kalibata hingga Bukit Duri, kemampuan mengalirkan air hanya 17 persen. Kali Krukut 37 persen, dan Kali Pesanggrahan 21 persen. Padahal aliran permukaan dari bagian tengah dan hulu sungai yang masuk ke Jakarta meningkat sekitar 50 persen dalam 30 tahun terakhir.

Kepala daerah baik Bupati dan Walikota Tangerang serempak menolak rencana tersebut dengan alasan hanya memindahkan air banjir ke wilayah Tangerang. Empat alasan penolakannya adalah kapasitas kedua kali besar itu, bendungan Pintu Air 10 yang dikhawatirkan jebol, saluran gorong-gorong yang menghubungkan Tangerang dengan Jakarta Barat, dan hampir semua saluran air yang bermuara ke Sungai Cisadane sudah meluap saat ini.
Solusi membangun waduk juga perlu dpertimbangan, Menteri PU menyatakan  Waduk Ciawi hanya akan berkontribusi kecil yaitu 8% terhadap pengurangan banjir di Jakarta, padahal estimasi dana pembangunan sebesar Rp 1,8 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar apabila dialihakan pada proyek-proyek yang langsung menyentuh persoalan

Pembangunan waduk sudah lama ditinggalkan oleh Negara-negara maju karena pembangunan waduk ditinjau dari ilmu lingkungan kurang sesuai karena dapat merusak lingkungan untuk jangka panjang dan tidak berkelanjutan. Beberapa kelemahan tersebut antara lain:
  • Hilangnya Tanah dan Kehidupan Margasatwa di bagian Hulu
  • Hilangnya Endapan Lumpur dan Kesuburan di Bagian hilir
  • Hilangnya Air Karena:
    • Penguapan
    • Transpirasi: Masalah Tanaman Air Pengganggu
    • Rembesan Air dan Penggunaan air Berlebihan
    • Menimbulkan rawan penyakit bagi daerah sekitar: Malaria, Filariasis, Kebutaan sungai dan sebagainya
    • Hancurnya Budi daya Ikan
    • Ancaman Gempa bumi yang dapat merusak waduk dan menenggelamkan warga dan lokasi vital di Jakarta, misalnya yang terjadi pada bendungan Hoover, Kariba, Koyna, Vajont di India.
    • Salinasi misalnya Bendungan Aswan di Mesir

Proyek-proyek raksasa yang diusulkan oleh kepala daerah perlu mendapat tanggapan karena
  1. Proyek-proyek raksasa membutuhkan biaya yang sangat besar sampai triliunan rupiah sehingga pembangunannya rawan dengan praktek korupsi. Pembangunan proyek raksasa justru dapat menjadi boomerang bagi kepala daerah terperangkap pada kasus korupsi. Oknum aparat pemerintah yang memang doyan dengan kegiatan besar tentu mendukung proyek-proyek raksasa kepala daerah dengan harapan adanya dana-dana yang dapat ditilap
  2. Rencana proyek raksasa dapat menjadi solusi instan untuk menenangkan psikologis masyarakat akan sebuah solusi dari suatu masalah besar. Namun apabila pembangunan proyek raksasa berjalan lambat atau tersendat karena dana atau administrasi, justru dapat menjatuhkan citra kepala daerah tersebut, misalnya MRT, Monorel, Waduk, dsbnya
  3. Proyek raksasa dibangun dengan resiko yang tinggi, seperti waduk dapat menjadi pertaruhan nama baik kepala daerah tersebut apabila terjadi sabotase atau kebocoran pada waduk-waduk tersebut.

Disisi lain ada beberapa solusi sederhana yang hampir-hampir tidak pernah dilakukan oleh kepala daerah. Mungkin karena proyek tersebut biayanya kecil, melibatkan masyarakat banyak, kurang dapat mengangkat popularitas, atau karena birokrasi yang perlu direformasi karena kekurangpahamannya terhadap permasalahan banjir. Beberapa solusi sederhana tersebut adalah
  1. Memperbanyak daerah tangkapan air di titik genangan air.
Ada 35 titik genangan air di Jakarta diantaranya pintu Kelapa Gading 3 Jakarta Utara, kedalaman 15 sampai 20 centimeter. Sekitaran Gunung Sahari WTC, kedalaman hingga 20 centimeter. TB Simatupang mengarah ke Lenteng Agung, sedalam 15 centimeter. Yang paling parah Kampung Pulo Jakarta Timur, Kalibata Jakarta Selatan dan Pasar Rebo Jakarta Timur.
Perlu dibuat daerah tangkapan air yang banyak dititik genangan air. Daerah tangkapan air seperti sumur resapan, lubang biopori dan ruang terbuka hijau (RTH) perlu diperbanyak didaerah-daerah rawan banjir.
Memperluas RTH pada wilayah yang bukan rawan banjir tidak akan mengurangi secara signifikan daerah rawan banjir, Karena siklus hidrologis yang berbeda dan jumlah bangunan yang semakin banyak sehingga membatasi ruang gerak air. Misalnya suatu pengusaha akan mendirikan permukiman atau mall pada suatu daerah yang terdapat RTH, maka RTH tidak dapat digantikan didaerah lain yang berbeda siklus hidrologisnya walaupun RTH yang digantikan lebih luas. Air hujan yang terperangkap pada satu titik membutuhkan saluran untuk keluar dari titik tersebut. karena itu memperbanyak RTH pada titik genangan air adalah suatu keharusan.
Misalnya jl TB Simatupang, tahun lalu masih banyak ruang terbuka hijau disekitar TB Simatupang. Sekarang pembangunan gedung-gedung bertingkat marak di TB Simatupang sehingga menyebabkan banjir. Pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu mengambil kebijakan untuk mengurangi banjir diwilayah tersebut misalnya gedung-gedung bertingkat di DKI Jakarta wajib membangun sumur resapan, lubang biopori dan green roof (atap hijau). Tidak hanya itu, pemerintah perlu mendorong pengembang mengeluarkan dana CSR nya untuk menanggulangi banjir, membantu masyarakat disekitarnya membuat lubang biopori, menyediakan pohon untuk penghijauan, menyediakan tempat sampah dan aktifitas lain yang dapat mengurangi banjir.

2. Mengajak warga dan komunitas lingkungan untuk menangani banjir secara bersama-sama.
Semangat melibatkan masyarakat dan komunitas-komunitas peduli lingkungan masih kurang dikalangan kepala daerah. Sebagian besar Kepala daerah masih menganggap masyarakat sebagai objek yang perlu dibantu, dibina dan tidak mengetahui apa-apa mengenai suatu persoalan. Memang sebagian masyarakat masih mengharapkan bantuan dan pembinaan dari pemerintah, namun sebagian yang lain sudah lebih paham terhadap masalah, ikut aktif terlibat mengurangi masalah bahkan dapat diajak menjadi subjek pengambilan keputusan terhadap masalah tersebut.
Misalnya saja mengenai masalah banjir. Komunitas Ciliwung Institute, Walhi, Yayasan Kehati, Perwaku (perhimpunan cendikiawan lingkungan) dan komunitas-komunitas lain peduli lingkungan telah terlibat lama untuk menanggulangi masalah banjir. Sudah selayaknya mereka dilibatkan dalam pengambilan kebijakan mengenai banjir.

3. Merelokasi rumah-rumah dibantaran sungai dan perumahan mewah yang menghalangi run off air hujan menuju laut
Kebijakan Kepala daerah merelokasi rumah-rumah dibantaran sungai ke rumah susun patut diapresiasi. Rumah-rumah liar dibantaran sungai menjadi salah satu factor penyebab sulitnya air menuju sungai sehingga menimbulkan titik genangan.
Namun kebijakan tersebut hendaknya berlaku adil, tidak hanya masyarakat kecil yang dipindahkan tetapi juga masyarakat menengah atas yang mendiami permukiman yang menghalangi run off air hujan perlu juga direlokasi. Misalnya villa-villa di daerah hulu atau puncak perlu ditertibkan agar daerah tangkapan air semakin besar di daerah hulu. Atau juga perumahan mewah didaerah utara atau hilir seperti pantai indah kapuk juga perlu ditertibkan karena menghalangi aliran air hujan menuju laut.

4. Kampanye membuang sampah pada tempatnya
Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan (Dinkes) DKI Jakarta sepanjang bulan Januari 2014, banjir yang melanda wilayah pusat pemerintahan menyebabkan volume sampah meningkat sebesar lima persen. Mulai 18 Januari 2014 volume sampah sebanyak 373,12 ton, 19 Januari sebanyak 335,36 ton, 20 Januari 332,16 ton, dan 21 Januari 370,20 ton. Jumlah tersebut meningkat lima persen dari timbunan normal rata-rata 5.700 atau 6.000 ton.
Belum pernah ada kampanye secara besar-besaran mengenai kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Padahal seperti diketahui sampah menjadi salah satu penyebab utama banjir. Kampanye membuang sampah perlu dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat akan bahaya membuang sampah sembarangan. Kampanye tersebut hendaknya melibatkan tokoh masyarakat, dan komunitas-komunitas peduli lingkungan agar masyarakat dapat menjadi subjek dalam keputusan yang menyangkut mereka sendiri. Istilahnya dikenal sebagai pemberdayaan.

5. Memperkuat tanggul-tanggul
Berdasarkan data yang penulis himpun, telah terjadi beberapa kerusakan tanggul mulai dari tahun 2012. Dimulai dari tanggul di Kali Adem, Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, pada tanggal 13 Desember 2012. Kerusakan tanggul ini menyebabkan 500 rumah warga terendam air laut, serta dua warga hanyut.
Pada tanggal 20 Desember 2012 tanggul di Kali Cipinang jebol akibatnya 979 warga terpaksa mengungsi ke GOR Makassar serta Jalan Pusdiklat Depnaker dan Jalan Masjid Suprapto tergenang, menutupi akses warga Pinang Ranti menuju Halim.
Menyusul empat hari kemudiaan tepatnya tanggal 24 Desember 2012, Tanggul Kali Laya Pekayon, Jakarta Timur, jebol, sehingga air merendam pemukiman sekitarnya.
Pada Tanggal 15 Januari 2013, tanggul di Kedoya Selatan, Kebun Jeruk, jebol dan menyebabkan banjir setinggi dua meter. Tanggul ini memiliki konstruksi buruk karena hanya dibuat dari karung pasir, sehingga tidak kuat menahan air Kali Pesanggrahan.
Pada tanggal 17 Januari 2013, tanggul Kanal Banjir Barat, di daerah Latuharhari juga jebol dan menyebabkan terendamnya kawasan perumahan mewah di Menteng dan berbagai kawasan bisnis di pusat kota.
Tanggul 21 Januari 2014 Tanggul Sungai Ciliwung di Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, Jebol. Akibatnya banjir Jakarta bertambah parah dan ratusan orang harus mengungsi.

6. Memperbaiki situ-situ yang ada.
Keberadaan situ yang dibangun pada abad ke-18 mengalami berbagai masalah, antara lain :
  • berkurangnya lahan pertanian yang membutuhkan air dari situ,
  • penggantian pengelola atau penyerahan pengelolaan kepada lembaga lain,
  • pembangunan pemukiman di daerah genangan atau disekitar situ yang mengakibatkan berkurangnya luas genangan situ bahkan mengakibatkan kerusakan situ
  • sedimentasi yang terjadi karena kerusakan hutan di daerah hulu yang mengakibatkan erosi,
  • gulma di daerah genangan ,
  • adanya kerusakan pada bangunan pelengkap situ.
Menurut catatan KLH terdapat beberapa kerusakan situ di sekitar Jakarta, yaitu Di  Kec. Leuwiliang ada 4 situ dan 2 rusak, Kec. Jasinga ada 19 situ dan 14 rusak, Kec. Cigudeg ada 14 situ dan 11 dalam kondisi rusak, Ciawi 2 situ dan 1 rusak, Cileungsi 12 situ dan 6 rusak, di Bekasi ada 16 situ dan 10 rusak. Dari 48 situ dan waduk yang ada di Jakarta, hanya 35% yang berfungsi untuk penampung air dan pengendali banjir.

7. Reformasi Birokrasi terutama pada bidang-bidang yang menangani masalah lingkungan.
Banjir yang melanda Jakarta sebenarnya telah diprediksi jauh hari. Sayangnya Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang disarankan telat direspon oleh Gubernur DKI Joko Widodo.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Heru Widodo mengatakan  BPPT telah mengingatkan sebaiknya TMC dilakukan pada awal Desember. Tapi ternyata surat perintah siaga darurat baru dikeluarkan pada Senin (13/1) sore. Padahal, BPPT dan Pemprov DKI Jakarta telah melakukan rapat mengenai penerapan TMC sejak November 2013. Bukan hanya masalah TMC, masalah pembangunan sumur resapan, lubang biopori, drainase, revitalisasi waduk, dan sebagainya juga telat diantisipasi oleh pemerintah DKI.
Telatnya pemerintah provinsi DKI Jakarta mengantisipasi banjir 2014 karena birokrasi yang belum mampu merespon banjir dengan cepat. Hal tersebut bisa jadi karena SDM yang lemah di birokrasi yang menangani masalah lingkungan. Karena itu kepala daerah perlu melakukan reformasi birokrasi, kalau perlu bentuk team khusus yang setiap saat bekerja untuk mengantisipasi banjir. Jangan sampai ketika musim hujan telah lewat, isu banjir juga dibiarkan sehingga banjir kembali melanda Jakarta tahun-tahun berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar